Kamis, 29 Agustus 2013

Berkeringat Ketika Berlatih, Tanpa Luka Di Medan Perang


Riuh Stasiun Kereta Lempuyangan di pagi hari. Ada yang sedang mencari tiket untuk bepergian kemudian kecewa karena tidak ada tiket atau senang karena mendapatkan tiketnya, ada pula yang sedang menantikan kedatangan seseorang, dan ada yang ingin bepergian. Tas-tas besar terlihat dibawa oleh hampir setiap orang. Mungkin karena Hari Jumat, sehingga banyak yang bepergian karena setelahnya adalah week end. Dengan jaket tebal dan terlihat kelopak mata yang sayu menahan kantuk, tukang ojek, penarik becak, dan jasa charter menunggu penumpang di pintu keluar stasiun. Mereka berharap salah seorang dari penumpang tersebut sebagai tangan panjang Tuhan untuk memberikan rezeki. Tak ada perdebatan ketika penumpang tidak jadi memilih jasa mereka tetapi lebih memilih jasa yang lain. Masing-masing telah menyadari bahwa rezeki telah ada yang mengaturnya. Kewajiban mereka adalah berusaha dengan bersungguh-sungguh. Penjual-penjual salak pondoh Merapi pun tampak sibuk menata butiran-butiran salah membentuk seperti gunung untuk ditawarkan sebagai buah tangan pada pengunjung stasiun.
Pagi itu diantara keramaian orang yang ingin bepergian ada aku yang untuk pertama kalinya akan ke Pulau Dewata mengemban amanah membawa nama baik almamater di sebuah perlombaan. Aku tidak sendiri melakukan perjalanan menyebrang pulau itu, ada Ria, Kak Riza, Kak Anto, dan Kak Satria. Aku dan Ria adalah satu tim, sedangkan yang lain sendiri-sendiri. Pada awalnya baru Kak Riza dan aku yang telah sampai di stasiun. Lalu dari kejauhan dengan tas ransel dipunggung, Kak Anto mendekat dan menghapiri kami.
“Hei Pita, Riza, kalian sudah lama ?,” tanyanya menghapiri kami dengan menurunkan tas ranselnya ke lantai.
“Dari tadi Kak, katanya jam setengah tujuh?, sudah jam tujuh nih,” jawabku merasa kecewa atas keterlambatannya.
“Iya nih, tahu gitu aku bisa sarapan dulu di Burjo, Huu” tambah Kak Riza yang juga terlihat kecewa.
“Ya kan nggak apa-apa, lagian keretanya masih jam setengah delapan,” Balas Kak Anto membela diri.
Dalam berdebatan itu, Kak Satria datang menghampiri kami dengan wajah mengantuk dan tanpa basa basi menanyakan, “ Nanti di kereta ada yang jual nasi nggak ya, lapar banget nih, tadi malam nggak sempat makan gara-gara buat presentasi,”
“Cie cie, yang sudah siap tanding sampai nggak sempat makan,” goda Kak Riza
“Apaan sih,”  kata Satria.
Pukul 07.20, Ria belum terlihat jalan menuju kami. Sempat ada rasa khawatir karena aku tahu kebiasaan Ria yang suka membuat waktu itu sangat berharga yaitu salah satunya berangkat mendekati jam keberangkatan. Kami berempat yang sudah lebih dulu datang di Stasiun mulai menunjukkan rasa kekhawatiran itu. Kepala-kepala kami mulai menoleh kanan ataupun kiri dan meninggi, pandangan kami tertuju pada jalan berharap melihat Ria lalu mulut kami bisa memanggilnya untuk segera bergegas. Aku SMS Ria, ku ketikkan kalimat pemberitahuan yang diawali pertanyaan “ Ria dimana?, keretanya sudah datang lho. Ditunggu di pintu masuk dekat loket pemesanan tiket,”
Beberapa saat setelah laporan SMS terkirim muncul dilayar HP yang aku pegang, “Nah, itu Ria,” kata Kak Anto menunjuk arah Ria yang tegogoh-gopoh membawa 2 tas lumayan besar.
“Maaf, maaf, tadi harus menungu yang mau mengantar, keretanya yang mana ya?” kata Ria dengan nafas yang irregular.
“Ayo, kita masuk peron terus langsung ke kereta,”
“Ayo”
“Ayo”
“Ayo”
“Ayo”
Tanpa satu pun menjawab pertanyaan Ria, kita menuju kereta yang akan membawa kami ke ujung timur Pulau Jawa sebelum menaiki kapal feri ke Bali. Kereta ekonomi Sri Tanjung jurusan Lempuyangan-Banyuwangi dengan harga tiket 35 ribu cukup memuaskan bagiku dan Kak Anto yang memang terbiasa naik transportasi ini ketika pulang kampung. Alasan cukup memuaskan adalah harga tiket yang murah. Berkat kebijakan baru yang membuat setiap penumpang mendapatkan tempat duduk dari stasiun pemberangkatan hingga stasiun tujuan, tiap gerbong kereta yang kami naiki tak ada lagi penumpang yang berebut tempat duduk atau berjejal di gerbong kereta makan untuk bisa duduk. Gerbong 2 dengan nomor tempat duduk 18A, 18B, 19C, 19B, 19C tempat kami duduk untuk memulai perjalanan. Beberapa saat setelah kami menduduki tempat duduk dan berdoa bersama, kereta yang semula tak bersuara, mulai terdengar bunyi mesin dan klaksonnya. Lumayan lama kereta tak segera jalan. Dalam pikiranku bertanya “ Apa kereta perlu dipanasi dulu seperti sepeda motorku ya,”. Pukul 07.31, kereta perlahan berjalan.
Sebenarnya kami berlima sebelumnya tak pernah bercengkrama bersama. Bahkan, aku baru kenal dengan yang namanya Kak Satria dan Kak Riza sehari sebelum keberangkatan. Namun, atas dasar membawa amanah yang sama kami tidak canggung untuk komunikasi kecuali Ria karena dia memang selalu formal jikalau berhadapan dengan orang. Rasanya seperti  saudara, Kak Satria membagikan cerita pengalamannya setiap kali mengikuti lomba dan seringnya beliau menjadi finalis. Beliau tahun lalu juga mengikuti lomba yang sama di Bali.
“Kak, sering banget lolos lomba, caranya gimana sih,” tanyaku penasaran pada Kak Satria.
“ Jadi setiap kalian mengikuti lomba pahami dulu temanya, apa yang diinginkan oleh panitia, taati aturannya, yang terpenting gagasan yang kalian angkat sesuatu yang baru tapi aplikatif,” jelasnya padaku, Kak Riza, dan Ria.
“ Aplikatif berarti langsung bisa diterapka begitu ya Kak,”
“Aplikatif tidak selalu harus bisa langsung diterapkan kalau dalam lomba gagasan tertulis ataupun essay, tetapi ide tersebut mungkin bisa diaplikasikan 5 tahun kedepan atau 10 tahun kedepan,” perjelas Kak Satria.
“Essay juga harus ada gagasan yang dibawa ya,” sahut Kak Riza yang kebetulan lolos sebagai finalis essay bersama Kak Satria dan Kak Anto.
“Lebih baik iya kalau dalam lomba agar juri jelas dengan hal baru yang ingin kita sampaikan”
Percakapan kami berempat sangat seru, memperbincangkan pengalaman, harapan, cita-cita, kuliah, hingga urursan pribadi. Seperti kita telah kenal lama dan akrab. Tak segan juga kita saling mengejek satu dengan yang lain apalagi aku, Kak Riza, dan Kak Satria yang fleksibel dalam pergaulan. Kami hampir tak menyadari ketika kami akan melewati Sungai Bengawan Solo. Terlewatilah sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Dalam perjalanan, kami banyak mendapatkan pelajaran dari berbagai kalangan yang menjadi penumpang. Ada yang seorang dosen perguruan tinggi, beliau paparkan bahwa kami harus fighting untuk mencapai cita-cita. Ada seorang mantan pedagang kompor minyak, beliau bercerita bagaimana sulitnya kehidupan keluarganya setelah kebijakan kompor gas diberlakukan. Ada berbagai macam pedagang yang lewat menjajakan dagangangnya mulai dari makanan hingga perkakas dapur. Kereta ekonomi sekarang pelayanannnya lebih baik dan ramah itu yang bisa aku simpulkan.  Dibandingkan dengan kereta dengan kelas yang lebih tinggi, tiap penumpang hanya peduli terhadap dirinya sendiri, jarang aku dapati ketika naik kereta non ekonomi disampingku mengajak berbicara bahkan bercerita.
Pukul 14.45, kereta akan memasuki Stasiun Gubeng Surabaya.
“Kak Anto dari tadi belajar terus, udah Kak nggak usah belajar beri kesempatan aku yang juara,”Kata Kak Riza yang melihat Kak Anto tak hentinya belajar materi yang akan dipresentasikannya dari mulai kereta berjalan.
Kak Anto mengawalinya dengan tertawa kecil, “Ini aku lakukan layaknya seorang tentara yang rela bermandikan keringat di saat latihan, dari pada berucucuran darah di medan perang,”
“Apa sih itu,” Tanya Kak Riza.
“Kak Anto kan sudah jago, nggak perlu belajar begitulah,”Kataku.
“Ah iya nih Anto, biarlah aku yang juara,” Kata Kak Satria.
Kak Anto tidak peduli dengan apa yang kami katakan, dia tidak berhenti membaca-mengulangnya dan mungkin menghafalkan bacaan yang dipegang. Berhentinya adalah ketika makan dan beribadah. Melihat hal tersebut Ria mengikuti apa yang dilakukan Kak Anto. Sedangkan kami bertiga masih saja asyik berbincang-bincang.
Pukul, 17. 30, kereta akan diperkirakan setengah jam lagi memasuki kota Jember, terjadilah kebingunan pada kami yang belum pernah ke Bali. Kami tidak mengetahui dimana sebaiknya kami turun sebelum menyebrang. Aku yang berpikir Banyuwangi lebih dekat dengan Bali bersikukuh minta yang lain turun di Banyuwangi. Kak Satria yang merasa pernah tahu bahwa ke Bali harus naik bus dari Jember, menginginkan kita bersamaan turun di Jember dan tidak membiarkanku turun di Banyuwangi. Perdebatan tentang dimana kami harus turun ditengahi oleh petugas kereta api. Dan akhirnya kami turun di Stasiun terakhir Banyuwangi Baru. Ternyata 400 meter dari stasiun tersebut sudah pelabuhan Ketapang. Beruntungnya kami, sampai pelabuhan kapal yang kami naiki langsung berangkat dan sampai di Bali sudah ada bus pula yang siap berangkat ke Denpasar.
Diperjalanan menuju Denpasarlah, Kak Anto mulai menghentikan aktivitasnya belajar tadi. Kulihat di bus, dia terlelap tidur. Kami berempat yang lain juga terlelap tidur. Pukul 02.00, sampailah kami di Terminal Ubung Denpasar. suasana masih belum ramai, diputuskan kami beristirahat di terminal hingga subuh barulah kami berangkat ke tempat lomba. Dalam kerumunan nyamuk yang beterbangan disekitar badan, kami berlima terlelap lagi dalam tidur di kursi-kursi tunggu penumpang. Subuh menjelang. Adzan berkumandang, meskipun mayoritas penduduk Bali beragama Hindu tetapi di Denpasar banyak penduduk beragama muslim.
“Hei, ayo bangun sudah Subuh,” kata Kak Anto membangunkan kami.
Bergegaslah kami bangun, mandi, dan berangkat ke tempat perlombaan. Kami bukan peserta yang pertama datang di tempat lomba, sudah ada banyak peserta yang hadir dengan wajah percaya diri semua. Nyaliku serasa ingin pergi ketika melihat hal tersebut. Mereka berlatih cara bebricara didepan juri, membawa produk lalu cara memperagakan. Sesi yang presentasipun dimulai.
“Sebelum kita memulai sesi presentasi kali ini marilah kita awali dengan berdoa, berdoa dipersilakan,” Arahan dari pembawa acara sebelum presentasi dimulai dan dinilai juri.
Peserta demi peserta mempresentasikan karya lalu mendapatkan pertanyaan dari dewan juri. Ketika Kak Anto presentasi, hadirin seperti tersihir untuk mendengarkan. Dewan juri pun seperti kehabisan pertanyaan kepada Kak Anto karena setiap pertanyaan yang diberikan mampu dijawab dengan baik. Kak Satria yang memang telah berpengalaman juga tidak kalah bagus. Berbeda dengan karyaku dan Ria, diberikan komentar dewan juri tentang arah dari gagasan yang kami usulkan.  Akhirnya saat-saat yang ditunggu tiba yaitu pengumuman pemenang.  Dari kami berlima akhirnya ada 2 yang juara. Mereka adalah Kak Anto sebagi juara 1 dan Kak Satria sebagai juara 3. Usai pengumuman itu, barulah aku paham mengenai kalimat yang diucapkan Kak Anto bahwa tidak mengapa berkeringat ketika berlatih, asalkan tanpa luka di medan perang. kita lebih baik berlatih dan belajar segiat mungkin selagi ada kesempata, daripada kecewa pada akhirnya.(Mutik Sri Pitajeng/pitajeng@gmail.com)

0 komentar :

Posting Komentar