Riuh
Stasiun Kereta Lempuyangan di pagi hari. Ada yang sedang mencari tiket untuk
bepergian kemudian kecewa karena tidak ada tiket atau senang karena mendapatkan
tiketnya, ada pula yang sedang menantikan kedatangan seseorang, dan ada yang
ingin bepergian. Tas-tas besar terlihat dibawa oleh hampir setiap orang.
Mungkin karena Hari Jumat, sehingga banyak yang bepergian karena setelahnya
adalah week end. Dengan jaket tebal
dan terlihat kelopak mata yang sayu menahan kantuk, tukang ojek, penarik becak,
dan jasa charter menunggu penumpang
di pintu keluar stasiun. Mereka berharap salah seorang dari penumpang tersebut
sebagai tangan panjang Tuhan untuk memberikan rezeki. Tak ada perdebatan ketika
penumpang tidak jadi memilih jasa mereka tetapi lebih memilih jasa yang lain.
Masing-masing telah menyadari bahwa rezeki telah ada yang mengaturnya.
Kewajiban mereka adalah berusaha dengan bersungguh-sungguh. Penjual-penjual
salak pondoh Merapi pun tampak sibuk menata butiran-butiran salah membentuk seperti
gunung untuk ditawarkan sebagai buah tangan pada pengunjung stasiun.
Pagi
itu diantara keramaian orang yang ingin bepergian ada aku yang untuk pertama
kalinya akan ke Pulau Dewata mengemban amanah membawa nama baik almamater di
sebuah perlombaan. Aku tidak sendiri melakukan perjalanan menyebrang pulau itu,
ada Ria, Kak Riza, Kak Anto, dan Kak Satria. Aku dan Ria adalah satu tim,
sedangkan yang lain sendiri-sendiri. Pada awalnya baru Kak Riza dan aku yang
telah sampai di stasiun. Lalu dari kejauhan dengan tas ransel dipunggung, Kak
Anto mendekat dan menghapiri kami.
“Hei
Pita, Riza, kalian sudah lama ?,” tanyanya menghapiri kami dengan menurunkan
tas ranselnya ke lantai.
“Dari
tadi Kak, katanya jam setengah tujuh?, sudah jam tujuh nih,” jawabku merasa
kecewa atas keterlambatannya.
“Iya
nih, tahu gitu aku bisa sarapan dulu di Burjo, Huu” tambah Kak Riza yang juga
terlihat kecewa.
“Ya
kan nggak apa-apa, lagian keretanya masih jam setengah delapan,” Balas Kak Anto
membela diri.
Dalam
berdebatan itu, Kak Satria datang menghampiri kami dengan wajah mengantuk dan
tanpa basa basi menanyakan, “ Nanti di kereta ada yang jual nasi nggak ya,
lapar banget nih, tadi malam nggak sempat makan gara-gara buat presentasi,”
“Cie
cie, yang sudah siap tanding sampai nggak sempat makan,” goda Kak Riza
“Apaan
sih,” kata Satria.
Pukul
07.20, Ria belum terlihat jalan menuju kami. Sempat ada rasa khawatir karena aku
tahu kebiasaan Ria yang suka membuat waktu itu sangat berharga yaitu salah
satunya berangkat mendekati jam keberangkatan. Kami berempat yang sudah lebih
dulu datang di Stasiun mulai menunjukkan rasa kekhawatiran itu. Kepala-kepala
kami mulai menoleh kanan ataupun kiri dan meninggi, pandangan kami tertuju pada
jalan berharap melihat Ria lalu mulut kami bisa memanggilnya untuk segera
bergegas. Aku SMS Ria, ku ketikkan kalimat pemberitahuan yang diawali
pertanyaan “ Ria dimana?, keretanya sudah datang lho. Ditunggu di pintu masuk
dekat loket pemesanan tiket,”
Beberapa
saat setelah laporan SMS terkirim muncul dilayar HP yang aku pegang, “Nah, itu
Ria,” kata Kak Anto menunjuk arah Ria yang tegogoh-gopoh membawa 2 tas lumayan
besar.
“Maaf,
maaf, tadi harus menungu yang mau mengantar, keretanya yang mana ya?” kata Ria
dengan nafas yang irregular.
“Ayo,
kita masuk peron terus langsung ke kereta,”
“Ayo”
“Ayo”
“Ayo”
“Ayo”
Tanpa
satu pun menjawab pertanyaan Ria, kita menuju kereta yang akan membawa kami ke
ujung timur Pulau Jawa sebelum menaiki kapal feri ke Bali. Kereta ekonomi Sri
Tanjung jurusan Lempuyangan-Banyuwangi dengan harga tiket 35 ribu cukup
memuaskan bagiku dan Kak Anto yang memang terbiasa naik transportasi ini ketika
pulang kampung. Alasan cukup memuaskan adalah harga tiket yang murah. Berkat
kebijakan baru yang membuat setiap penumpang mendapatkan tempat duduk dari
stasiun pemberangkatan hingga stasiun tujuan, tiap gerbong kereta yang kami
naiki tak ada lagi penumpang yang berebut tempat duduk atau berjejal di gerbong
kereta makan untuk bisa duduk. Gerbong 2 dengan nomor tempat duduk 18A, 18B,
19C, 19B, 19C tempat kami duduk untuk memulai perjalanan. Beberapa saat setelah
kami menduduki tempat duduk dan berdoa bersama, kereta yang semula tak
bersuara, mulai terdengar bunyi mesin dan klaksonnya. Lumayan lama kereta tak
segera jalan. Dalam pikiranku bertanya “ Apa kereta perlu dipanasi dulu seperti
sepeda motorku ya,”. Pukul 07.31, kereta perlahan berjalan.
Sebenarnya
kami berlima sebelumnya tak pernah bercengkrama bersama. Bahkan, aku baru kenal
dengan yang namanya Kak Satria dan Kak Riza sehari sebelum keberangkatan.
Namun, atas dasar membawa amanah yang sama kami tidak canggung untuk komunikasi
kecuali Ria karena dia memang selalu formal jikalau berhadapan dengan orang.
Rasanya seperti saudara, Kak Satria
membagikan cerita pengalamannya setiap kali mengikuti lomba dan seringnya
beliau menjadi finalis. Beliau tahun lalu juga mengikuti lomba yang sama di
Bali.
“Kak,
sering banget lolos lomba, caranya gimana sih,” tanyaku penasaran pada Kak
Satria.
“
Jadi setiap kalian mengikuti lomba pahami dulu temanya, apa yang diinginkan
oleh panitia, taati aturannya, yang terpenting gagasan yang kalian angkat
sesuatu yang baru tapi aplikatif,” jelasnya padaku, Kak Riza, dan Ria.
“
Aplikatif berarti langsung bisa diterapka begitu ya Kak,”
“Aplikatif
tidak selalu harus bisa langsung diterapkan kalau dalam lomba gagasan tertulis
ataupun essay, tetapi ide tersebut mungkin bisa diaplikasikan 5 tahun kedepan
atau 10 tahun kedepan,” perjelas Kak Satria.
“Essay
juga harus ada gagasan yang dibawa ya,” sahut Kak Riza yang kebetulan lolos
sebagai finalis essay bersama Kak Satria dan Kak Anto.
“Lebih
baik iya kalau dalam lomba agar juri jelas dengan hal baru yang ingin kita
sampaikan”
Percakapan
kami berempat sangat seru, memperbincangkan pengalaman, harapan, cita-cita,
kuliah, hingga urursan pribadi. Seperti kita telah kenal lama dan akrab. Tak
segan juga kita saling mengejek satu dengan yang lain apalagi aku, Kak Riza,
dan Kak Satria yang fleksibel dalam pergaulan. Kami hampir tak menyadari ketika
kami akan melewati Sungai Bengawan Solo. Terlewatilah sungai terpanjang di
Pulau Jawa itu. Dalam perjalanan, kami banyak mendapatkan pelajaran dari
berbagai kalangan yang menjadi penumpang. Ada yang seorang dosen perguruan
tinggi, beliau paparkan bahwa kami harus fighting
untuk mencapai cita-cita. Ada seorang mantan pedagang kompor minyak, beliau
bercerita bagaimana sulitnya kehidupan keluarganya setelah kebijakan kompor gas
diberlakukan. Ada berbagai macam pedagang yang lewat menjajakan dagangangnya
mulai dari makanan hingga perkakas dapur. Kereta ekonomi sekarang pelayanannnya
lebih baik dan ramah itu yang bisa aku simpulkan. Dibandingkan dengan kereta dengan kelas yang
lebih tinggi, tiap penumpang hanya peduli terhadap dirinya sendiri, jarang aku
dapati ketika naik kereta non ekonomi disampingku mengajak berbicara bahkan
bercerita.
Pukul
14.45, kereta akan memasuki Stasiun Gubeng Surabaya.
“Kak
Anto dari tadi belajar terus, udah Kak nggak usah belajar beri kesempatan aku
yang juara,”Kata Kak Riza yang melihat Kak Anto tak hentinya belajar materi
yang akan dipresentasikannya dari mulai kereta berjalan.
Kak
Anto mengawalinya dengan tertawa kecil, “Ini aku lakukan layaknya seorang
tentara yang rela bermandikan keringat di saat latihan, dari pada berucucuran
darah di medan perang,”
“Apa
sih itu,” Tanya Kak Riza.
“Kak
Anto kan sudah jago, nggak perlu belajar begitulah,”Kataku.
“Ah
iya nih Anto, biarlah aku yang juara,” Kata Kak Satria.
Kak
Anto tidak peduli dengan apa yang kami katakan, dia tidak berhenti
membaca-mengulangnya dan mungkin menghafalkan bacaan yang dipegang. Berhentinya
adalah ketika makan dan beribadah. Melihat hal tersebut Ria mengikuti apa yang
dilakukan Kak Anto. Sedangkan kami bertiga masih saja asyik berbincang-bincang.
Pukul,
17. 30, kereta akan diperkirakan setengah jam lagi memasuki kota Jember,
terjadilah kebingunan pada kami yang belum pernah ke Bali. Kami tidak
mengetahui dimana sebaiknya kami turun sebelum menyebrang. Aku yang berpikir
Banyuwangi lebih dekat dengan Bali bersikukuh minta yang lain turun di
Banyuwangi. Kak Satria yang merasa pernah tahu bahwa ke Bali harus naik bus
dari Jember, menginginkan kita bersamaan turun di Jember dan tidak membiarkanku
turun di Banyuwangi. Perdebatan tentang dimana kami harus turun ditengahi oleh
petugas kereta api. Dan akhirnya kami turun di Stasiun terakhir Banyuwangi
Baru. Ternyata 400 meter dari stasiun tersebut sudah pelabuhan Ketapang.
Beruntungnya kami, sampai pelabuhan kapal yang kami naiki langsung berangkat
dan sampai di Bali sudah ada bus pula yang siap berangkat ke Denpasar.
Diperjalanan
menuju Denpasarlah, Kak Anto mulai menghentikan aktivitasnya belajar tadi.
Kulihat di bus, dia terlelap tidur. Kami berempat yang lain juga terlelap
tidur. Pukul 02.00, sampailah kami di Terminal Ubung Denpasar. suasana masih
belum ramai, diputuskan kami beristirahat di terminal hingga subuh barulah kami
berangkat ke tempat lomba. Dalam kerumunan nyamuk yang beterbangan disekitar
badan, kami berlima terlelap lagi dalam tidur di kursi-kursi tunggu penumpang. Subuh
menjelang. Adzan berkumandang, meskipun mayoritas penduduk Bali beragama Hindu
tetapi di Denpasar banyak penduduk beragama muslim.
“Hei,
ayo bangun sudah Subuh,” kata Kak Anto membangunkan kami.
Bergegaslah
kami bangun, mandi, dan berangkat ke tempat perlombaan. Kami bukan peserta yang
pertama datang di tempat lomba, sudah ada banyak peserta yang hadir dengan
wajah percaya diri semua. Nyaliku serasa ingin pergi ketika melihat hal
tersebut. Mereka berlatih cara bebricara didepan juri, membawa produk lalu cara
memperagakan. Sesi yang presentasipun dimulai.
“Sebelum
kita memulai sesi presentasi kali ini marilah kita awali dengan berdoa, berdoa
dipersilakan,” Arahan dari pembawa acara sebelum presentasi dimulai dan dinilai
juri.
Peserta
demi peserta mempresentasikan karya lalu mendapatkan pertanyaan dari dewan
juri. Ketika Kak Anto presentasi, hadirin seperti tersihir untuk mendengarkan.
Dewan juri pun seperti kehabisan pertanyaan kepada Kak Anto karena setiap
pertanyaan yang diberikan mampu dijawab dengan baik. Kak Satria yang memang
telah berpengalaman juga tidak kalah bagus. Berbeda dengan karyaku dan Ria,
diberikan komentar dewan juri tentang arah dari gagasan yang kami usulkan. Akhirnya saat-saat yang ditunggu tiba yaitu
pengumuman pemenang. Dari kami berlima
akhirnya ada 2 yang juara. Mereka adalah Kak Anto sebagi juara 1 dan Kak Satria
sebagai juara 3. Usai pengumuman itu, barulah aku paham mengenai kalimat yang
diucapkan Kak Anto bahwa tidak mengapa berkeringat ketika berlatih, asalkan
tanpa luka di medan perang. kita lebih baik berlatih dan belajar segiat mungkin
selagi ada kesempata, daripada kecewa pada akhirnya.(Mutik Sri Pitajeng/pitajeng@gmail.com)
0 komentar :
Posting Komentar